Rabu, 09 Januari 2013
Matasiswa.com : Mengutip Pelajaran Daun
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 190-191).
Saudaraku, apa yang kau rasakan saat membaca ayat tersebut? Adakah kau merasakan ajakan Allah Azza wa Jalla untuk memikirkan ciptaan-Nya, yang mana bila kau lakukan maka Dia akan memberi tanda/petunjuk-Nya padamu?
Bila kita merenungi ayat tersebut kemudian mencoba mengikutinya maka akan terasa tanda-tanda itu bicara pada kita. Sebagai contoh sederhana, kau tahu daun kan? Saking banyaknya daun di sekitar kita, mungkin kita tak pernah memikirkan pelajaran apa yang dapat kita petik dari kehidupan daun.
Mungkin saat mengenyam ilmu di sekolah atau kampus yang berkaitan dengan ilmu biologi atau pertanian, ada sedikit pengetahuan akan kehidupan daun kita peroleh dari ulasan guru atau dosen, baik tentang proses fotosintesis, kemanfaatannya buat alam, manusia, hewan juga tanaman itu sendiri. Tetapi bisa jadi kita menelaahnya hanya sebatas itu, tanpa pernah menyentuh hal ini dari sudut pandang iman.
Oleh karenanya Saudaraku, mari sejenak kita perhatikan daun. Ya, sejenak saja dari sekian banyak waktu yang kau habiskan dengan segala rutinitasmu. Kau pasti tahu bahwa sang daun sejak tumbuh ia memiliki peran penting untuk proses kehidupannya sendiri dan tak diragukan lagi teramat banyak manfaat bagi sekitarnya termasuk untuk kita. Kau pun pasti sangat paham saat sang daun luruh ke bumi, ia tetap memberi manfaat sebagai humus yang menyuburkan tanah.
Tidakkah kita bisa mengambil hikmah/pelajaran dari siklus hidupnya ini? Ada sebuah tanda yang Allah tunjukkan pada kita tentang kehidupan daun. Mari kita garis bawahi, bahwa sejak tumbuh hingga luruh ke bumi ia bermanfaat untuk sekitarnya.
Tidakkah kita menginginkan kehidupan kita bisa bermanfaat seperti kehidupan sang daun? Di mana hal ini selaras dengan apa yang diriwayatkan dari Jabir berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Mari sejenak kita renungi pula hadits ini, dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beri’tikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Mereka, kata Rasulullah, adalah sebaik-baik manusia. Mereka mendapatkan cinta Allah karena kebaikan dan manfaat hidupnya terhadap orang lain. Para sahabat pada masa Nabi memahami secara mendalam sebuah kaidah usul fiqih yang menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Tidakkah kita ingin mendapat cinta Allah dengan menjadi bagian dari “Khairunnas anfa’uhum linnas?” Kurasa tak ada seorang pun yang tak menginginkan dicintai Allah. Bila demikian, mari kita tengok diri kita, apa saja yang sudah diperbuat sepanjang perjalanan hidup kita, adakah yang kita lakukan telah bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi berguna pula untuk orang lain? Bagaimana peran kita selama ini sebagai anak, sebagai suami atau istri, sebagai ayah atau bunda, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai pengajar, pekerja, pedagang, pencari ilmu, atau peran apa pun yang saat ini sedang dilakoni? Dan, apa pula yang kita ingin orang lain sebutkan tentang diri kita saat meninggalkan kefanaan dunia?
Bila perjalanan hidupmu Saudaraku… masih sama denganku, masih jauh dari bermanfaat untuk sekitar, mulai saat ini mari menyusun langkah dan menata aktivitas kita dengan berorientasi pada kemanfaatan untuk orang banyak. Dengan segenap potensi yang Allah karuniakan, mari kita berjuang menjadi pribadi yang dicintai-Nya.
Indah sekali rasanya bila hidup kita diwarnai semangat untuk selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain. Elok juga rasanya bila ajal telah tiba mengakhiri aktivitas kita di dunia, namun nilai kemanfaatan dari apa yang kita lakukan tetap dirasakan oleh mereka yang masih berkelana di dunia.
Sungguh sangat bermakna pula ketika kita dapat memikirkan tanda-tanda dari ciptaan-Nya, seperti sang daun itu. Mari kita segera bergerak untuk belajar pada kehidupannya: dari tumbuh hingga luruh meninggalkan manfaat untuk sekitar.[]MZ_Yani.matasiswa.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar