Setiap jiwa niscaya akan merasakan sebuah fase bernama
kematian. Tak ada yang mengingkari hal itu termasuk kalangan atheis sekalipun.
Namun yang namanya keimanan tak mandeg sebatas ini saja. Telah menjadi perkara
mendasar dalam Islam, yakni keyakinan adanya alam setelah kematian, yakni alam
barzakh, atau lazim disebut alam kubur.
Kematian, dalam pandangan Islam, bukanlah ujung dari segala
kehidupan makhluk. Syariat telah demikian gamblang menerangkan bahwasanya masih
ada alam lain (alam barzakh kemudian alam akhirat) yang akan dilalui manusia
pascakematian. Maka, membincangkan alam kubur, jelas erat kaitannya dengan
akidah. Karena alam kubur adalah bagian dari hal ghaib yang tidak semua orang
(termasuk sebagian umat Islam) mau meyakininya.
Seperti yang terjadi pada salah satu Istri dari Dosen STAI
PTDI yang meninggal dunia pada dini hari yang tepatnya Ba’da
Maghrib tanggal 23 Januari 2013, yang bertemapat Jl. Bintar Jati Gang Beneng
Rt02/Rw02 Cipayung Jakarta Timur. Sebut saja Almarhumah Ibu "WHENNY SULIAS
HARFIANA" istri dari Ust. Nafi Gunawan. semoga di ampunkan dosa - dosanya,
diterima amal ibadahnya dan di tempatkan di surganya Allah SWT....amiin.
Allahumaghfirlaha warhamha waafiha wafuanha...
Nyatanya, masih saja ada yang berlogika untuk mementahkan
perkara akidah ini. Seakan-akan segala hal bisa dilihat dari kacamata logika
mereka. Sebagian lagi menolak dengan merangkum beragam syubhat (keraguan) yang
kesudahannya adalah menolak hadits-hadits yang menerangkan tentang berbagai
peristiwa di alam kubur.
Melogikakan alam kubur dan beragam peristiwa yang terjadi di
dalamnya tentu saja hanya akan menimbulkan erosi akidah, yang ujung-ujungnya
kita bisa meragukan bahkan menghampakan eksistensi Allah l sebagai Dzat yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Islam telah menggarisbawahi dengan tebal bahwa keimanan
bukanlah atas dasar selera manusia sehingga ia bisa bebas memilih sekehendak
hati. Di mana ia hanya mau menerima hal-hal yang masuk akal dan menolak hal-hal
yang bertentangan dengan akal. Ia hanya mengimani hal-hal yang bisa diendus
oleh panca indera sementara yang ghaib justru dia kufuri. Demikian juga dia
hanya mau mempraktikkan syariat yang dianggapnya ringan sementara syariat yang
(dalam anggapannya) berat –meski hukumnya wajib– justru ia tinggalkan.
Hakikat keimanan dalam Islam, adalah pembenaran secara total
terhadap segala kabar yang diberitakan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah
yang kemudian mewujud dalam praktik anggota tubuh, berupa ucapan maupun
perbuatan.
Sehingga bukan keimanan namanya jika ber-Islam hanya atas
dasar eling (ingat) atau yang di kalangan sufi diistilahkan dengan tahap
ma’rifat. Disamping itu, jika setiap makhluk bisa menginderai hal-hal ghaib
niscaya keimanan itu menjadi tiada harganya. Karena selain perkara itu bukan
lagi merupakan hal ghaib, maka menjadi tidak terbedakan lagi antara mukmin dan
orang kafir. Karena semua orang dengan mudah akan mengimani itu semua.
Bagaimanapun, dunia dalam pandangan Islam, hanyalah panggung
ujian yang akan dinilai nantinya. Tidak mungkin ada dua orang, yang satu jahat
sementara yang lain shalih, tatkala mati kemudian sama-sama selesai begitu
saja. Tak ada balasan kejelekan atau hukuman dan tak ada balasan kebaikan atau pahala.
Tegasnya, tak ada tawar-menawar dalam setiap perkara yang
memang telah digariskan syariat. Setiap muslim seyogianya terus menyempurnakan
keimanan yang telah terpatri dalam sanubarinya, salah satunya dengan mengimani
adanya kehidupan setelah kematian.[]MZ_matasiswa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar