Jumat, 04 Maret 2016

Sejarah Para Khalifah: Abdul Majid I, Mengawali Gerakan Pro-Barat












Abdul Majid I (1823-1861) adalah sultan Turki Utsmani yang menggantikan ayahnya, Mahmud II, pada 2 Juli 1839. Masa pemerintahannya ditandai dengan bangkitnya nasionalisme di negara itu dan menempa persekutuan dengan kekuatan utama Eropa.


Sultan Abdul Majid I adalah ayah dari empat orang sultan; Murad V, Abdul Hamid II, Muhammad Risyad V, dan Muhammad Wahidin (sultan ke-2 sebelum pembubaran Turki Utsmani). Ia menitahkan pemugaran Hagia Sophia yang diawasi oleh arsitek Swiss, Gaspas Fossati.
Sultan Abdul Majid I adalah sosok yang lemah secara fisik, namun sangat cerdik otaknya. Ia dikenal sebagai sosok yang realistis dan penuh kasih sayang. Dia termasuk salah seorag Sultan Utsmani yang memiliki kemampuan sangat mumpuni. Ia menyukai kedamaian, memasukkan program-program baru dalam pemerintahannya, dan mempraktikkannya pada saat itu juga.
Sultan juga memasukkan program-program baru dalam sistem kemiliteran Utsmani. Pada masa pemerintahannya, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, perdagangan meluas, dan banyak bangunan-bangunan mewah didirikan. Pada masanya pula telah dikenalkan kabel telepon dan rel kereta api.
Dia memegang kendali kekuasaan setelah ayahnya, Sultan Mahmud II, yang meninggal dunia pada 1839 M. Waktu itu dia baru berumur 16 tahun. Usianya yang sangat muda ini dijadikan peluang oleh sebagian menterinya yang "ter-barat-kan" untuk menyempurnakan apa yang telah dilakukan ayahnya dalam hal perbaikan-perbaikan yang berkiblat pada Barat serta memodernkan segala sesuatu dengan standar Barat.
Sultan Abdul Majid I merupakan Sultan Utsmani pertama yang melakukan westernisasi pemerintahan secara resmi. Dialah yang pertama kali mengambil langkah gerakan ini dan mengeluarkan perintah resmi tentang adanya organisasi pemerintahan pada 1854 dan 1856 M.
Dengan adanya perintah resmi ini, maka dimulailah dalam pemerintahan Utsmani apa yang disebut dengan masa reorganisasi. Sebuah istilah yang sebenarnya adalah reorganisasi masalah-masalah kenegaraan di dalam pemerintahan Utsmani dengan metode Barat. Dengan dua perintah resmi ini, maka sempurnalah penyingkiran aturan-aturan syariah Islam, dan sekaligus menandai pembuatan undang-undang positif dan pendirian lembaga-lembaga.
Sultan Abdul Majid I sangat dipengaruhi oleh menterinya, Rasyid Pasya, yang merupakan pengagum Barat dan menjadikan filsafat Freemasonry sebagai jalan hidupnya. Rasyid Pasya adalah orang yang mempersiapkan generasi pelanjut yang duduk menjadi menteri dan orang-orang penting dalam pemerintahan. Berkat perannya, mereka telah mengambil andil sangat besar dalam menggulirkan roda westernisasi yang telah ia rintis.
Tatkala kaum Muslimin melihat bahwa pemerintahan Utsmani menyamakan antara mereka dengan orang-orang Kristen dan Yahudi dan telah mengganti syariah Islam dengan undang-undang Kristen. Dan mereka merasa bahwa pemerintahan Rasyid Pasya lebih berpihak pada masyarakat Kristen, dan sangat peduli agar mereka tidak mendapat ancaman apa-apa.
Timbullah ketidaksukaan yang kuat di kalangan rakyat. Melihat reaksi rakyat Muslim, tidak ada jalan lain bagi sultan dan para pejabat pemerintahannya kecuali harus menurunkan dan menyingkirkan Rasyid Pasya, akibat adanya kebencian dan tekanan rakyat yang demikian kuat. Ini terpaksa dilakukan karena sultan dan orang-orangnya sangat takut akan adanya pemberontakan dan pembangkangan kaum Muslimin.
Hanya saja pencopotan Rasyid Pasya tidak berhasil menghentikan gelombang gerakan westernisasi dan semakin banyaknya aturan hukum yang diimpor dari Barat setelah dilapangkan.
Kondisi pemerintahan Utsmani makin lama makin buruk dan mundur. Inilah yang membuat para pejabat pemerintah berpikir keras, tentang hakikat perubahan yang harus dilakukan. Ternyata tidak didapatkan cara lain selain menggunakan pembaharuan dengan mengikuti gaya Eropa dengan cara westernisasi yang telah dimulai.
Wabah westernisasi ini menyebar ganas dari pemerintahan Utsmani ke berbagai wilayah lainnya. Di Tunisia, Muhammad Bay mengeluarkan apa yang disebut "dengan kesepakatan" pada 1857 M.
Mesir juga mengambil langkah yang sama. Dengan adanya hukum politik di Istanbul, Tunisia, dan Mesir, maka usaha modernisasi yang dulunya menjadi keinginan bangsa Eropa, mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok elit penguasa dan mendapat restu sultan untuk menerapkan proses westernisasi dalam masyarakat Muslim.
Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar