SUDAH menjadi tradisi yang lumrah terjadi, bahkan setiap tahun pasti acap kali perayaan kelulusan siswa selalu diwarnai dengan beragam aksi, yang menunjukkan bentuk mengekpresikan diri dalam merayakan kelulusan tersebut. Beberapa waktu yang lalu, ketika siswa dan siswi pelajar baik dari tingkat sekolah dasar sampai SMA dinyatakan lulus ujian nasional (UN), mereka pun bersuka ria menyikapi kabar yang menggembirakan tersebut. Beberapa diantara mereka merayakan kelulusan dengan cara yang beragam, ada yang mengkespresikan diri dengan aksi coret-coret baju seragam, konvoi kendaraan di jalan raya. Sebaliknya, dibalik ingar bingar perayaan kelulusan, ada kontradiksi, dimana siswa yang histeris karena dinyatakan tidak lulus UN. Bagaimanapun juga, kelulusan merupakan momen kegembiraan sekaligus hal terpenting yang dinanti-nantikan setiap insan pendidikan. Lantas, bagaimanakah kita, sebagai pelajar menyikapi hal ini?
Tentunya, kita harus menyadari
bahwa kelulusan harus disikapi dengan baik. Perjuangan selama 3 tahun menuntut
ilmu di sekolah, tentu memerlukan proses yang panjang, dan kelulusan merupakan
anugerah yang diberikan oleh-Nya setelah berjibaku menuntut ilmu. Sudah
semestinya, pelajar harus memahami betul mengenai esensi kelulusan itu sendiri.
Beragam aksi yang mewarnai perayaan kelulusan yang sudah menjadi tradisi,
seperti konvoi kendaraan di jalan raya, aksi coret-coret seragam bukanlah
tradisi yang bermanfaat dan memberikan nilai edukasi. Salah seorang siswa yang
juga alumnus SMAN 4 Kota Bogor, Andhika Nanang Permana berpendapat, menurutnya
hal itu tidak baik, kita sebagai kaum intelektual jangan melakukan hal seperti
itu, konvoi itu bisa jadi penyebab tawuran
lho. Alangkah lebih baiknya lagi, kalau aksi curat-coret baju itu diganti
dengan pengumpulan baju seragam yang masih baik tentunya dikumpulkan untuk adik kelas yang
membutuhkan, itu kan bisa lebih bermanfaat” papar Dika Lagipula, konvoi aksi
curat-coret seragam juga dapat menimbulkan ekses yang negatif, baik bagi instistusi
pendidikan, maupun aksi konvoi yang dapat memicu konflik, bahkan juga dapat
membahayakan diri. Sudah saatnya,
pelajar saat ini harus cermat, dan mengubah paradigma tradisi tersebut kea rah
yang lebih positif.
Momentum perubahan
Yayat Supriatna, Pembina OSIS MAN
2 Kota Bogor, menambahkan bahwa sebetulnya kelulusan adalah momentum
awal perubahan diri, dan pelajar harus menentukan sikap untuk ke arah
yang lebih baik lagi, pasalnya lulusan untuk tingkat dasar dan menengah belum
berakhir, tetapi orientasinya masih harus berlanjut ke jenjang yang lebih
tinggi (PTN).” Paparnya.
Menyikapi kelulusan, Yayat
mengatakan pentingnya komunikasi yang menjembatani antara keinginan siswa
dengan pihak sekolah, dalam hal ini, sekolah juga harus memberikan ruang
partisipasinya kepada siswa dalam rangka ikut bergembiran merayakan kelulusan,
hal ini sederhana saja, misalnya sekolah memberikan fasilitas kain yang sengaja
disediakan untuk membubuhkan tanda tangan, kesan maupun pesan siswa, atau
dengan hal melakukan syukuran yang dilakukan bersama-sama. Hal ini akan jauh
lebih elegan, dan memberikan manfaat sebagai ungkapan rasa syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar