Hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang
maju dengan poros koalisinya. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla diusung oleh
koalisi PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa
diusung koalisi partai Gerindra, PAN,
PPP, PKS, Golkar dan PBB. Kedua pasang capres-cawapres pun sudah
mendaftarkan ke KPU untuk mengikuti Pemilu Presiden.
Kemasan Memikat, Janji Muluk
Kedua pasangan sama-sama memilih warna putih sebagai identitasnya.
Mungkin itu untuk memberi pesan bahwa mereka bersih. Citra ini tentu
penting saat wajah Indonesia belepotan oleh korupsi. Putih juga tentu
untuk mengesankan bahwa mereka tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat,
independen serta bukan penguasa boneka yang disetir dan dikendalikan
oleh pihak dalam atau luar negeri.
Pasangan Jokowi-JK mengusung
visi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian”. Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengusung, “Agenda dan
Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Kedua pasangan sama-sama
mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan.
Berbagai janji muluk
disampaikan. Mereka berjanji membuka jutaan lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan perkapita, membuka jutaan hektar lahan baru, membangun
infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata sektor energi,
mengembangkan energi terbarukan, membangun kilang, memperbaiki dan
membangun irigasi untuk jutaan hektar lahan, meningkatkan hasil
perikanan dan kesejahteraan nelayan, menata sektor keuangan dan sejumlah
janji-janji muluk lainnya.
Meski kedua pasangan sama-sama
mengusung ekonomi kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas. Yang
mereka usung tetap sistem ekonomi kapitalisme, dengan sedikit polesan
berupa program yang “menyasar rakyat kecil, petani dan nelayan”.
Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalisme-liberal masih tetap
dipertahankan. Sistem moneternya masih tetap mata uang fiat money dan
berbasis riba. Sumber terbesar pendapatan negara tetap bertumpu pada
pajak. Bahkan kedua pasangan bertekad untuk meningkatkan pendapatan dari
sektor pajak dan cukai. Sistem anggaran juga tetap menggunakan utang
meski katanya akan dikurangi. Jika utang LN dikurangi, tumpuannya akan
beralih pada utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara, meniru
negara-negara kapitalis seperti AS dan Jepang. Dijanjikan pula, utang
akan lebih digunakan untuk infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
Pengelolaan tambang dan SDA tetap dengan konsep kapitalisme.
Pengelolaannya diserahkan kepada swasta, termasuk swasta asing, melalui
kontrak bagi hasil, konsesi atau kontrak karya. Yang dijanjikan akan
dilakukan sekadar renegosiasi (kesepakatan ulang) kontrak pertambangan
agar porsi bagian negara meningkat. Namun, pelaksanaannya masih bisa
diragukan. Pasalnya, selama ini, terutama saat berhadapan dengan
perusahaan asing yang didukung oleh negaranya, para penguasa negeri ini
tampak tak berdaya.
Kebijakan sektor energi tetap berorientasi
mengurangi (menghapus) subsidi BBM. Besar kemungkinan, harga BBM akan
dinaikkan, siapapun yang menjadi presiden dan wapresnya. Dalam hal
pembangunan infrastruktur dan sarana pelayanan publik tetap akan
dilanjutkan skema Public-Private Partnership atau Private Finance
Initiative. Intinya, swasta tetap dilibatkan dalam hal pembangunan dan
pendanaan. Artinya, swasta akan mendapatkan bagian keuntungan dari
pengelolaan infrastruktur dan sarana pelayanan publik itu. Ini
sebenarnya doktrin dari kapitalisme yang menghendaki agar peran negara
dalam menyediakan infrastruktur dan pelayanan publik seminimal mungkin.
Jadi, yang ditawarkan oleh kedua pasangan adalah melanjutkan penerapan
sistem ekonomi kapitalisme disertai sedikit modifikasi. Padahal selama
ini sistem ekonomi kapitalisme itulah yang menjadi sebab timpangnya
distribusi kekayaan di negeri ini. Sistem ini juga menjadi pintu masuk
cengkeraman asing terhadap perekonomian negeri ini. Akibatnya, kekayaan
negeri ini lebih banyak untuk kesejahteraan pihak asing, bukan untuk
rakyat.
Di sisi lain, sistem politik yang diterapkan tetaplah
sistem demokrasi. Selain memakan biaya besar, sistem demokrasi itulah
yang menjadi pangkal lahirnya berbagai peraturan dan UU yang merugikan
rakyat. Sistem demokrasi juga menjadi pintu masuknya pengaruh asing.
Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga mengubah wajah negara menjadi
negara korporasi (negara yang dikendalikan oleh para pemilik modal).
Hubungan Pemerintah dengan rakyat—yang seharusnya seperti hubungan
pelayan dengan yang dilayani—akhirnya berubah menjadi hubungan layaknya
penyedia jasa dan produk dengan konsumen. Dengan kata lain, rakyat
diposisikan sebagai pembeli yang harus membayar pelayanan yang dijual
oleh negara.
Jadi, kalaupun ada perubahan, itu hanya menyangkut
sosok orangnya. Sistemnya tetap sama, dengan sedikit modifikasi.
Padahal yang dibutuhkan negeri ini bukan hanya sosok yang mampu dan
amanah, tetapi juga sistem yang sahih dan baik untuk menggantikan sistem
yang rusak sekarang ini.
Pemimpinnya Amanah, Sistemnya Syariah
Sesungguhnya negeri ini dengan segala yang ada di atasnya adalah milik
Allah SWT. Semuanya telah Allah SWT titipkan kepada penduduk negeri ini
untuk dikelola dengan baik. Karena itu, negeri ini harus dipimpin oleh
penguasa yang memiliki kemampuan dan sifat amanah. Dalam Islam,
kekuasaan itu sendiri adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah SWT di akhirat nanti. Rasul saw. bersabda saat Abu Dzar
ra. meminta jabatan:
«وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا»
Sesungguhnya jabatan (kekuasaan)
itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat
akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang
mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi
kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).
Tugas
penguasa adalah mengurusi segala kepentingan rakyatnya. Penguasa ibarat
penggembala yang bertanggung jawab atas semua gembalaannya. Rasul saw.
mengingatkan:
«إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ»
Sungguh seburuk-buruk penggembala adalah al-khuthamah. Karena itu
jangan sampai engkau termasuk dari mereka (HR Muslim, al-Baihaqi dan Ibn
Hibban).
Al-Khuthamah adalah penggembala yang keras dan kasar terhadap gembalaannya. Pemimpin rakyat yang buruk juga disebut al-khutham.
Dalam konteks negeri ini yang dipenuhi oleh kolusi, korupsi, manipulasi
dan berbagai bentuk kecurangan, kebutuhan akan penguasa yang amanah
sangat mendesak. Hanya penguasa amanah saja yang akan bisa menertibkan
pejabat dan aparatur negara di bawahnya. Pemimpin amanah jugalah yang
akan menyerahkan jabatan hanya kepada orang-orang yang juga amanah,
memiliki kemampuan dan bertakwa. Jika jabatan diserahkan kepada orang
yang tidak layak maka itu sama artinya menyia-nyiakan amanah kekuasaan
sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits Rasul saw. Sayangnya, yang
demikian sulit dipenuhi oleh penguasa negeri ini nanti. Pasalnya,
pastilah jabatan dibagi-bagikan kepada para politisi atau orang-orang
yang disodorkan oleh parpol peserta koalisi.
#IndonesiaMilikAllah – Terapkanlah Syariah Allah
Selain penguasa amanah, negeri ini juga sangat membutuhkan sistem yang
sahih dan baik untuk menggantikan sistem kapitalisme-sekular yang
terbukti buruk dan bobrok. Gonta-ganti penguasa saja tanpa disertai
perubahan sistem terbukti tidak menghasilkan perubahan ke arah yang
lebih baik. Yang ada, hasilnya malah jauh lebih buruk. Fakta ini
menegaskan bahwa negeri ini memerlukan perubahan sistem. Intinya, ganti
sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan selama puluhan tahun di
negeri ini dengan sistem (syariah) Islam.
Indonesia—sebagaimana
dunia ini—adalah milik Allah SWT. Karena itu, dunia ini, termasuk negeri
ini, hanya layak dikelola dan diatur dengan menggunakan aturan Allah
SWT. Itulah syariah Islam.
Hanya dengan syariah Allah SWT sajalah
perubahan dan penyelamatan negeri ini bisa diwujudkan secara hakiki.
Allah SWT sudah mengingatkan kita tentang akibat dari penerapan sistem
yang bukan berasal dari wahyu-Nya:
﴿فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم
مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا﴾
Jika
datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yuang
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya bagi dia penghidupan
yang sempit (QS Thaha [20]: 124).
Imam Ibn Katsir menjelaskan,
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku” maknanya: “Siapa saja
yang menyalahi perintah (ketentuan)-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada
Rasul-Ku, berpaling dan berpura-pura melupakannya serta mengambil yang
lain sebagai petunjuknya, maka bagi dia kehidupan yang sempit, yakni di
dunia.”
Sebaliknya Allah SWT berjanji akan melimpahkan berkah-Nya
atas negeri ini ketika syariah-Nya diterapkan sebagai perwujudan
keimanan dan ketakwaan penduduk negeri. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf
[7]: 96).
Selain itu, Allah SWT memperingatkan, siapa saja yang
mengambil selain Islam sebagai agama dan sistem hidupnya, tidak akan
diterima (QS Ali Imran [3]: 85). Yang harus dilakukan adalah hanya
mengambil dan menerapkan Islam saja, yakni hanya akidah dan syariahnya.
Islam harus diterapkan sebagai agama dan sistem hidup di bawah naungan
Khilafah. Syariah dan Khilafah itulah yang merupakan jalan perubahan dan
penyelamatan negeri ini secara hakiki.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Anggaran riset di Indonesia stagnan selama 10 tahun terakhir. Rasio
antara anggaran riset dan produk domestik bruto tak banyak berubah.
Rasio anggaran riset hanya 0,08 persen dari PDB. Rasio ini kecil
dibandingkan dengan negara lain, bahkan di Asia. Padahal agar terjadi
lompatan pembangunan dibutuhkan riset. (Kompas, 20/5).
Itu
bukti kecilnya semangat kemandirian dan kemajuan yang diusung oleh
Pemerintah selama ini. Itu juga wujud masih kentalnya sikap membebek dan
bergantung kepada Barat.
Kemajuan yang berbasis pada riset yang
kuat akan bisa diujudkan dengan penerapan syariah dalam naungan Khilafah
yang mengusung jihad. Sebab, jihad mengharuskan negara membangun
keunggulan teknologi.
[www.globalmuslim.we
Tidak ada komentar:
Posting Komentar