Mantan TKI yang sukses menggeluti usaha kerupuk dengan modal awal hanya Rp 50.000. Usaha kerupuk singkong yang dibuat di rumahnya Jalan Raya Jagakarsa No 6 RT 9/3, kelurahan Jagakarsa itu diberi nama Cantir. Menurutnya, nama Cantir merupakan makan tradisional orang Jawa yang disajikan pada hari lebaran, makanan ini dibuat dari singkong yang ditaburi dengan gula merah. Awalnya, kerupuk buatan Muslimah hanya dua rasa, yakni manis dan pedas. Namun, setelah setahun terakhir, Muslimah mengembangkan produknya dengan empat rasa yakni kerupuk rasa keju, pizza, barbeque, ayam dan keripik pedas. Keripik yang disebutkan terakhir ini merupakan produk unggulannya yang laris manis.
Kini produksinya sudah mencapai 1 hingga 1,5 kwintal singkong perhari dengan melibatkan 20 orang tenaga kerja yang seluruhnya kaum ibu dilingkungannya. “Kami membentuk perempuan tangguh, yang tidak hanya menyandarkan hidup pada suaminya. Tetapi juga bisa menghasilkan sehingga keberadaannya tidak dipandang lemah,” ujar Muslimah. Kesuksesan Muslimah merintis usahanya itu bukan karena sokongan modal berlimpah. Akan tetapi, keteguhan dalam menghadapi persoalan yang menimpa bisnisnya itu sehingga menelurkan solusi. Muslimah memulai usaha ini pada 2005 dengan modal Rp 50.000. Saat itu, ia hanya membuat singkong kemasan yang dijual Rp 1000 perbungkus. Ia menawarkan kerupuk singkong buatannya kepada tetangga sekitar rumah “Awalnya ada tetangga yang memesan 10 bungkus, rasanya sudah senang banget, berarti buatannya itu disukai orang lain,” paparnya.
Muslimah juga menitipkan produknya itu ke kios kenalannya yang berada di stasiun Kota, Jakarta, dan menawarkan ke penumpang angkutan kota. Saat mengantarkan ke kios di daerah kota, Muslimah sengaja menumpang kereta api, dalam perjalanan nya ia selalu membawa kerupuk lebih dari jumlah yang akan dititipkan. Tujuaannya untuk menawarkan ke penumpang kereta api.
Tidak sampai setahun, usaha yang dirinstisnya mengalami kemajuan. Ia pun memutuskan pindah ke daerah Depok, kata dia karena pertimbangan tempat luas untuk menjemur singkong. Muslimah pun meminjam uang ke Bank BRI Rp 50 juta untuk memperluas usahanya. Namun, keputusan pindah tidak sesuai dengan harapan. Perpindahan itu lokasi itu membuat usahanya kedodoran, 15 orang karyawannya terpaksa diberhentikan karena tidak sanggup upah akibat produksinya macet karena harga singkong melambung tinggi Rp 500 per kilo.
Kenaikan harga ini disebabkan karena suplai bahan baku sinkong sedikit karena petani dari Lampung beralih menanam coklat lantaran tergiur harga perlkilo Rp 20 ribu dari Rp 8000. Karena tidak ada pilihan lain, Muslimah pun melangkahkan kaki ke pasar mencari singkong guna menghidupkan kembali usaha yang sudah ambruk itu. Saat itu ia melintasi bak Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di kawasan pasar ia melihat limbah singkong yang dikupas kulitnya berserakan. Kemudian ia menanyakan orang sekitar siapa yang membuang limbah singkong ini. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan pengepul singkong yang biasa menyuplai kepada tukang goreng.
Langkah ini membuka pintu kesuksesan usahanya kembali. Pemasaran yang dilakukanpun diperluas dengan menghadiri setiap kegiatan dikelurahan atau dikecamatan. Dengan mengenalkan ke instansi pemerintah, produk Muslimah bukan saja dikenal, pesananpun datang dengan deras untuk disajikan diberbagai acara. Seiring dengan pesanan yang tinggi, Muslimah pun kewalahan. Akhirnya ia merekrut ibu rumah tangga diwilayahnya sebagai pekerja lepas. Yakni, singkong yang baru datang itu dibawa pulang ibu-ibu untuk diproses menjadi kerupuk. Setelah itu, singkong yang dibawa pulang dikembalikan ke Muslimah dalam kondisi siap digoreng. “Saya libatkan semua ibu-ibu sebagai pekerjanya. Mereka ambil barang dari saya, dan nanti saya bayar sesuai dengan kerjaannya,” ujarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar