Kamis, 28 Januari 2016

Matasiswa.com LGBT Terhadap Anak Menjadi Kejahatan Berat Serta Propaganda yang Serius















Komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) semakin gencar melakukan aksinya. Setelah menjadi perbincangan ramai aksi mereka di salah satu kampus ternama, kini mereka mulai merambah dunia maya dan menyasar anak-anak.
Atas tindakan tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuk keras dan meminta aparat penegak hukum, khususnya Polri beserta jajarannya, menyelidiki dan menindak oknum tidak bertanggung.


Apabila terindikasi ada anak dibawah umur, maka KPAI bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), sekolah, dan lembaga terkait akan melakukan rehabilitasi kepada anak-anak tersebut.
Sebelumnya, beredar selebaran komunitas LGBT yang mengatasnamakan Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) UI yang memberikan konsultasi bagi LGBT.
LGBT melawan hukum alam
Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender) menjadi buah bibir netizen setelah 12 negara di dunia melegalisasi pernikahan antar sesama jenis pada 26 Juni 2015 lalu.
Tak sedikit orangtua yang merasa cemas legalisasi pernikahan sesama jenis akan mendorong banyak anak muda untuk tak malu-malu lagi untuk menyatakan orientasi seksnya yang menyimpang dan menginspirasi mereka untuk mengikuti gaya hidup homoseksualitas.
Banyak pembaca setia theAsianparent bahkan mengecam keras pernikahan sesama jenis ataupun LGBT sebagai perbuatan yang melawan hukum alam.
Sebelum Anda membaca ulasan saya lebih lanjut, perlu saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak dibuat untuk mengobarkan kebencian pada para LGBT. Ibarat menyiram api dengan bensin, kebencian hanya akan memperuncing permasalahan dan mengakibatkan banyak orang terluka.
Apa yang akan saya paparkan di sini adalah intisari dari sejumlah laporan ilmiah tentang mendeteksi orientasi seks menyimpang atau homoseksualitas pada usia dini. Dengan harapan agar kita bisa mencegah ‘virus’ ini menular pada anak-anak kita.
Tidak semua anak perempuan tomboy akan menjadi lesbian
Menurut The Trevor Project, sebagian besar kaum LGBT mengatakan bahwa mereka mengetahui kalau diri mereka berbeda sejak usia dini.
Sebagian besar kaum gay mengatakan, di usia kanak-kanak (3-5 tahun) mereka sangat sering bermain boneka, berpakaian seperti wanita, memakai make up ibunya, suka berpura-pura menjadi perempuan saat bermain peran bersama teman-temannya, lebih sensitif dari anak laki-laki pada umumnya dan merasa lebih nyaman ketika bermain bersama teman perempuan dibandingkan teman laki-laki.
Pernyataan ini didukung sebuah studi oleh psikiater Richard Green tentang homoseksualitas terhadap 44 anak lelaki yang telah menunjukkan perilaku di atas yang disebut sebagai perilaku yang menunjukkan gender nonconformity (ketidaksesuaian jenis kelamin).
Penelitian dilaksanakan sejak mereka masih anak-anak hingga dewasa. Hasilnya, 30 dari mereka menjadi gay atau biseksual di usia dewasa, dan satu orang menjadi gay.
Penelitian juga dilakukan terhadap para anak perempuan gender nonconformity, yaitu anak perempuan yang suka berpakaian seperti laki-laki, memainkan permainan anak laki-laki dan suka bermain bersama anak laki-laki. Uniknya, hanya seperempat dari mereka yang menjadi lesbian ketika dewasa.
Namun, tidak semua anak laki-laki yang suka bermain seperti perempuan akan menjadi gay. Sebaliknya, tidak semua anak perempuan yang tomboy kelak menjadi lesbian.
Labelisasi bisa mendorong anak menjadi gay
Hasil penelitian ini juga mendapat tentangan dari beberapa pihak karena tidak semua anak laki-laki yang suka berpakaian seperti perempuan menjadi gay di usia dewasa.
Ada juga beberapa remaja pria gay di Amerika Serikat yang justru tampak sangat ‘pria’. Mereka melakukan aktivitas pria normal seperti bergabung dengan tim sepakbola Amerika di sekolah.
Seorang anak laki-laki yang sering dibully hanya karena tidak suka berkelahi, tidak suka main sepakbola atau suka menyendiri, misalnya, sangat berpeluang menjadi gay.
Ini terjadi akibat depresi dan kehilangan harga diri, setelah karakternya dihakimi semena-mena oleh orang-orang di sekitarnya.
Ini adalah sebuah peringatan penting bagi kita untuk tidak mengatakan anak laki-laki kita seperti banci hanya karena ia suka bermain boneka atau cengeng.
Menjaga dan mengarahkan anak melakukan aktivitas atau permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya juga sangat penting untuk membantu anak menemukan jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar