Masyarakat heran ada wacana untuk menghapus kolom agama dari kartu tanda penduduk (KTP). Alasan yang dikemukakan adalah kolom agama di KTP dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah, atau bagi orang penganut kepercayaan atau agama di luar enam agama rsmi yang diakui negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu). Contoh diskriminasi yang terjadi misalnya –seperti “ Dari temuan dan laporan sebagian anggota Komisi II, warga pemeluk agama minoritas di wilayah tertentu di Indonesia, kerap dipersulit ketika sedang mengakses pelayanan publik begitu diketahui oleh petugas tersebut agamanya berbeda”.
Bukan hanya itu lagi – lagi masyarakat terheran kedua kalinya yakni dengan mengganti KTP lama dengan e-KTP. Sehingga dengan pergantian KTP lama ke e-KTP seakan tak berdambak segnifikan. Yang ada terjadinya perdebatan mengenai penghapusan kolom agama di KTP. Sehingga rencana tersebut maka data Agama di Negara ini tak dapat diprekdisi berapa jumlahnya hingga penganutnya Karena tidak dicantumkan. Bukan hanya itu tujuan dicamtumkan Kolom KTP, agar mengetahui jumlah sesuatu Agama yang ada di Negara tersebut. Sehingga dengan otomatis bukan hanya KTP. Melainkan Kartu Keluarga (KK) Akte Kelahiran, SIM. Dll. Pastinya akan ikut berdampak keras atas kebijakan tersebut karena untuk membuat kartu – kartu penting tersebut dapat terjadi karena ada suatu prosedur atau persyaratan Antara Kartu yang satu dengan yang lainnya, seperti contoh untuk mendaftarkan anak kesekolah pastinya menggunakan poto copy KTP orang tuanya, atau Poto Copy KK dll. Maka akan berdampak kemajemukan diantarannya.
Hmmmm…padahal di dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tdiak ada penghapusan kolom agama. Dikutip dari, UU baru tersebut menyatakan, masyarakat tak lagi wajib mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Bagi kelompok sekuler (dan liberal) yang ingin menjauhkan agama dari kehidupan bernegara dan berbangsa, pasti mereka sepemahaman dengan usulan penghapusan kolom agama. Begitu pula bagi orang-orang yang sentimen dengan masalah agama, mereka cenderung melihat agama itu dari sudut negatif saja. Agama seolah-olah tidak penting untuk dibahas, agama itu urusan pribadi, toh beragama atau tidak beragama sama saja kelakuannya. Justifikasinya sering dikaitkan dengan kasus-kasus hukum seseorang. Misalnya, mengaku taat beragama tapi kok mencuri, mengaku sudah pergi haji tapi kok suka korupsi. Ayat suci dibaca, tetapi maknanya tidak diamalkan. Akhirnya beginilah yang terjadi pada bangsa ini yang mengaku bangsa paling relijius: korupsi, suap, nyontek, perkosaan, dan perilaku buruk lainnya menjadi berita sehari-hari. Menurut saya yang salah itu bukan karena agamanya, tetapi emang dasar orang tersebut tidak mempraktekkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tidak me-match-kan apa yang dibaca dengan yang tindakan yang dilakukan.
Jika pencantuman agama di KTP dianggap menimbulkan diskriminasi, maka seharusnya semua kolom data di KTP dapat menimbulkan diskriminasi juga lho. Tidak percaya? Coba perhatikan dialog berikut yang saya peroleh dari Fesbuk, anekdot lucu tetapi sebenarnya mengandung nada satire:
Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?
A : “Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.”
B : “Emang kenapa? Katanya negara berketuhanan, kok malah hilangkan agama?”
A: “Katanya sih, kolom agama itu bisa mengakibatkan diskriminasi. Lagian agama juga urusan pribadi. Nggak usahlah dicantumkan di KTP.”
B : “Nah, ntar ada juga orang yang ngaku mendapat perlakuan diskriminasi gara-gara jenis kelamin ditulis. Berarti kolom jenis kelamin juga harus dihapus dong. Laki-laki dan perempuan kan setara. Lagian, para bencong atau banci pasti protes mau dimasukkan ke jenis kelamina apa.”
C : “Eh, jangan lupa. Bisa juga lho perlakuan diskriminasi terjadi karena usia. Jadi hapus juga kolom tanggal lahir.”
D : “Eit, ingat juga. Bangsa Indonesia ini juga sering fanatisme daerahnya muncul, terlebih kalau ada laga sepak bola. Jadi mestinya, kolom tempat lahir dan alamat juga dihapus.”
B : “Ada juga lho, perlakuan diskriminasi itu gara-gara nama. Misal nih, ada orang dengan nama khas agama tertentu misalnya Abdullah, tapi tinggal di daerah yang mayoritas agamanya lain. Bisa tuh ntar dapat perlakuan diskriminasi. Jadi kolom nama juga wajib dihapus.”
B: “Kalau status pernikahan gimana? Perlu gak dicantumkan?”
A : “Itu harus dihapus. Nikah atau tidak nikah itu kan urusan pribadi masing-masing. Saya mau nikah kek, mau pacaran kek, itu kan urusan pribadi saya. Jadi kalau ada perempuan hamil besar mau melahirkan di rumah sakit, nggak usah ditanya KTP-nya, nggak usah ditanya sudah nikah belum, nggak usah ditanya mana suaminya. Langsung saja ditolong oleh dokter.”
D : “Sebenarnya, kolom pekerjaan juga berpotensi diskriminasi. Coba bayangkan. Ketika di KTP ditulis pekerjaan adalah petani/buruh, kalau orang tersebut datang ke kantor pemerintahan, kira-kira pelayanannya apakah sama ramahnya jika di kolom pekerjaan ditulis TNI? Nggak kan? Buruh biasa dilecehkan. Jadi kolom pekerjaan juga harus dihapus.”
C: “Kalau golongan darah gimana? Berpotensi diskriminasi nggak?”
A : “Bisa juga. Namanya orang sensitif, apa-apa bisa jadi bahan diskriminasi.”
E : “Lha terus, isi KTP apa dong?
Nama : dihapus
Tempat tanggal lahir : dihapus
Alamat tinggal : dihapus
Agama : dihapus
Status perkawinan : dihapus
Golongan darah : dihapus
Berarti, KTP isinya kertas kosong doang….”
A, B, C, D : (melongo)
Bukan hanya itu banyak sekali yang membahas atau memposting
mengenai rencana penghapusan Agama di KTP, Namun kutipan diatas hanyalah
sepenggal kutipan dari erbagai ragam komennya, bukan hanya ramai di Sosial
Fesbuk melainkan seperti di Tweeter, Blog, dll. Dan mereka diakhir komennya
sama gak jauh dari salah satu kutipan diatas. []MZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar